PENDIDIKAN DAN TIANG-TIANG YANG MENYANGGANYA

 

Masyarakat Ekonomi ASEAN, atau sering juga disebut MEA sudah di depan mata. Keberadaaanya yang tinggal beberapa hari lagi harus dipersiapkan sebaik-baiknya. Namun terlalu mepet ketika baru dipersiapkan sekarang. Karena program ekonomi bebas ASEAN ini akan membawa dampak yang besar bagi perekonomian Indonesia. Siap-tidak siap, waktu akan datang dan segala tantangan akan dihadapi. Untuk itu, mengoptimalan dalam mempersiapkan kedatangan MEA ini perlu ditingkatkan.

Dari sekian banyak permasalahan yang dihadapi Indonesia dalam menyongsong MEA ini yang paling mendesak untuk dicari jalan keluarnya adalah masalah pendidikan. Lagi-lagi pendidikan. Belum selesai dengan masalah kurtilas (kurikulum 2013), sekarang kita dihadapkan dengan MEA 2015. Pendidikan di sini adalah sebagai pencetak SDM unggul yang menjadi pilot disetiap posisi di Indonesia. Melalui SDM yang unggul pastinya akan membawa Indonesia bisa bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya. Lebih-lebih negara negara besar lainnya.

Pendidikan di sini tidak hanya sekedar intelektualitas saja yang ditingkatkan. Namun juga karakter. Karakter sikap dan mental seorang pemimpin harus ditananmkan melalui pendidikan.  Pendidikan karakter bertujuan untuk mencetak pemimpin-pemimpin masa depan yang siap menjadi agen revolusi bangsa.  Perubahan bangsa menuju bangsa yang bermartabat dan sejahtera.

Pendidikan karakter yang digadang-gadang sebagai kunci dalam wujud revolusi mental ditanamkan dalam pendidikan dasar dan menengah. Oleh M. Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu, mewujudkan konsep brilian itu dalam karya KURTILAS (kurikulum 2013). Jelas sekali ditekankan dalam kurtilas ini seorang siswa tidak hanya dituntut sebagai siswa yang handal dalam materi saja. Namun siswa bisa mengambil pemaknaan dalam setiap pelajaran. Siswa juga dituntut lebih aktif dalam pembelajaran. Aktif dalam memberikan kontribusi di kelas.

Namun baru melangkahkan beberapa jejak, kurikulum ini menghadapi banyak sekali tamparan dan sandungan dari berbagai pihak. Banyak aktivis peduli pendidikan, siswa, orang tua, juga guru merasa kurikulum ini memberatkan banyak pihak. Mereka  berpendapat bahwa kurtilas ini tidak bisa diterapkan dan aplikasinya cenderung kembali pada KTSP 2006. Guru mengabaikan aturan dan SOP kurtilas, dan kembali pada KTSP.

Apalagi setelah terplihnya Anies Baswedan sebagai Menteri Kebudayaan, dan Pendidikan Dasar dan Menengah. Seakan menjadi oase di tengah keterpurukan pendidikan di Indonesia. Beberapa terlalu berlebihan dalam manaruh harapan.

Saya melihat bahwa masyarakat terlalu gampang termakan isu publik, dan propaganda. Orang yang tidak tahu apa-apa dan tanpa dasar apa-apa dapat menjadi laksana hakim yang paling adil menuduh ini dan itu. Itu sebagian dari karakter bangsa ini yang perlu dibenahi.

Kembali pada pendidikan. Kalau saya melihat, adanya kurtilas ini memang diliar kebiasaan bangsa Indonesia. Menurut hemat saya, keberadaan kurtilas yang cenderung sistematis, padat, profesional dan proaktif tidak bisa diikuti oleh setiap elemen pendidikan dengan baik. Mereka, guru, siswa, dan wali murid, masih terlalu nyaman dengan sistem sebelumnya yang lembek.  Mereka cenderung lebih nyaman dengan kondisi yang sudah ada, tanpa mencoba menantang diri dalam hal baru, yakni dalam menjalankan kurtilas ini. Jika semua elemen menjalan setiap rule yang ada apda kurtilas ini, saya yakin pendidikan di Indonesia akan baik. Memang, beberapa point perlu beberapa penyesuaian yang tidak serta merta dapat diterima begitu saja. Seperti siswa harus lebih proaktif, selayaknya mahasiswa. Namun, waktu yang akan menggiringnya pada sebuah kebiasaan yang lambat laiun bisa diterima oleh fisik dan psikis kita.

Pada akhirnya, kurikulum hanya sebagai alat. Alat yang dibuat manusia untuk membantuk manusia-manusia cerdas yang diharapkan mampu menjadi nahkoda untuk Indonesia ke depan. Namun, sebaik apa pun kurikulumnya, setajam apa pun senjatanya, kalau dipegang oleh orang yang tidak baik, atau dituturkan oleh guru yang tidak profesional, hasilnya sama saja. Nol besar.

Salah satu masalah yang semakin deras dalam pendidikan di Indonesia adalah peran guru. Seorang guru yang digadang-gadang sebagai pahlawan tanpa tanda jasa sekarang hanyalah isapan jempol.  Semua bernilai material, Guru sekarang tidak memprioritaskan esensi dalam setiap ilmu yang disampaikan. Mereka lebih memprioritasakan jam terbang mereka, semua terpenuhi dan mereka bisa naik pangkat, gaji pun meningkat. Tidak sedikit memang yang benar-benar menjalankan peran guru sebagai mana sumpah guru manakala mereka dilantik sebagai guru. Namun di lapangan uang berbicara lebih kencang daripada kurikulum atau apa pun selainnya.

Untuk memperbaiki pendidikan, bukan dengan cara mencari bagian mana sistem yang salah, melainkan membenahi diri sendiri untuk menemukan hakikat dalam sebuah pendidikan.

Fenomena Salah Jurusan, Siapa yang Salah?

Setelah melepas statusnya sebagai siswa-siswi SMA dan sederajat, para pelajar disibukkan dalam menentukan langkah berikutnya. Sebagian pelajar meyudahi jenjang pendidikannya dan melanjutkan ke dunia kerja. Sebagian lain melanjutkan jenjang studinya di bangku kuliah. Sistem penerimaan mahasiswa di Indonesia yang sangat rumit mengharuskan calon mahasiswa untuk bersaing secara kuat demi memasuki universitas yang diinginkan.

Kenyataan di lapangan bahwa sebagian mahasiswa yang telah diterima sebagai mahasiswa mengalami salah jurusan. Hal ini dimaksud bahwa jurusan yang sudah dijalaninya tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya dia inginkan. Kejadian semacam ini kerap dialami dikalangan mahasiswa tahun pertama. Ketika mereka ditanya kenapa bisa salah jurusan, sebagian hanya mengatakan dulu mereka belum tahu perihal jurusan tersebut, ada juga yang memang mahasiswa tersebut menginginkan jurusan yang lain tapi dia terpaksa memilih jurusan apa adanya karena kemampuan intelejen yang kurang memadahi. Bahkan ada pula yang bingung alasan apa yang membuat dia mengalami salah jurusan. Pada akhirnya mahasiswa yang merasa tidak seirama dengan jurusan yang telah dijalaninya mencoba mendaftar kembali jurusan yang diinginkan menurut mereka.

Jika dikaji lebih lanjut, faktor yang melatarbelakangi seseorang menyatakan bahwa dirinya salah jurusan sangat bervariatif. Sebagian faktor terbesar adalah mahasiswa tersebut terpaksa memilih jurusan apa adanya, karena tidak diterima di jurusan yang sebenarnya dia inginkan. Sebut saja Kedokteran. Jurusan ini selalu menjadi jurusan idaman tiap tahunnya. Pekerjaan profesinya yang terlihat dan bersinggungan langsung dengan masyarakat, membuat masyarakat memandang profesi dokter merupakan profesi yang paling tinggi di dunia. Masyarakat juga sering melihat bahwa profesi dokter itu memiliki gaji yang tinggi dibanding profesi yang lainnya di masyarakat, sehingga kecenderungan publik untuk menjadi dokter menjadi semakin tinggi.

Sebagian orang awam yang hanya melihat ragam profesi yang hanya pada batas lingkungannya menganggap dokter menjadi profesi idaman. Sehingga orang tua, yang notabene sudah memiliki pengalaman lebih lama, menginginkan anaknya untuk menjadi dokter. Bahkan sebagian orang tua memaksa anaknya untuk menjadi dokter, walaupun anak tersebut tidak menginginkannya. Pemaksaan kehendak inilah menjadi faktor lain seseorang mahasiswa menyatakan dirinya salah jurusan. Pada hakikatnya perlakuan pemaksaan semacam ini membuat mahasiswa tidak 100% menjalani masa kuliahnya dengan sepenuh hati. Secara psikologis juga dapat membuat rasa percaya dirinya menurun. Memang ada beberapa yang dapat menyesuaikan dengan jurusan tersebut. Tapi, tidak sedikit mahasiswa yang akhirnya tidak semangat kuliah, enggan untuk mengerjakan tugas kuliah, karena tidak sesuai dengan passion.

Kembali pada masalah kedokteran. Kedokteran yang dianggap terpandang di masyarakat membuat semua mahsiswa ingin memasukinya. Tapi di sini ada perbedaan dengan kasus sebelumnya. Mahasiswa tersebut sebenarnya tidak menginginkan menjadi dokter, tapi karena ego mahasiswa tersebut ingin menjadi dokter. Hal ini disebabkan karena perasaan tidak puas dan kurang bersyukur mahasiswa tersebut. Mahasiswa tersebut ingin diakui masyarakat umum kecerdasannya dengan berhasilnya dia masuk di kedokteran. Dia hanya ingin dipandang hebat oleh teman, kerabat, atau oleh dirinya sendiri. Hal ini benar-benar berdampak buruk bagi mahasiswa yang bersangkutan.

Fenomena salah jurusan ini sangat berdampak pada berbagai aspek pendidikan. Mahasiswa bersangkutan pastinya tidak lagi bersungguh-sungguh dalam kuliahnya. Mahasiswa tersebut juga akan bertanya-tanya jurusan apa yang tepat untuknnya. Ujungnya mahasiswa tersebut akan terus mencari jurusan yang menurutnya tepat tanpa ada ketepatan yang pasti.

Sistem penerimaan mahasiswa baru di Indonesia yang sangat kompetitif mewajibkan calon mahasiswa untuk bertarung dengan rekan satu angkatannya, dan juga ditambah rekan- rekan dari angkatan sebelumnya yang belum diterima. Dengan ditambahnya mahasiswa salah jurusan yang mengikuti lagi seleksi penerimaan mahasiswa, menyia-nyiakan kursi yang telah tersedia dan membuang kesempatan calon mahasiswa yang sebenarnya ingin memasuki jurusan tersebut. Hal ini juga akan mengakibatkan penumpukan kursi tunggu dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru. Jika ini terjadi terus-menerus akan berdampak pada kestabilan pendidikan di Indonesia yang mengalami ketidak-optimalan hasil lulusan dari jurusan yang ada di Inodesia

Terlepas dari semua problem yang ada, pada dasarnya permasalahan ini bermula dari SMA. Dari semenjak mereka memutuskan untuk memilih jurusan tertentu. Kurangnya wawasan mengenai dunia perkuliahan. Kurangnya wawasan mengenai ragam prodi yang ada. Mereka belum tahu dan belum memahami medan jurusan yang akan dia masuki sebelum dia memilihnya. Sehingga sebagian calon mahasiswa masih bingung dalam memilih jurusan. Kurangnya pengetahuan mengenai jurusan yang tersedia juga perlu dicatat sebagai penyebab utama terjadinya fenomena salah jurusan. Banyak calon mahasiswa, dalam hal ini siswa SMA yang masih bingung dalam memilih jurusan yang seseuai dengan dirinya. Bahkan mereka dengan mudahnya memilih jurusan karena ikut-ikutan teman dekatnya, karena pacarnya, karena universitasnya, bukan karena benar-benar jurusan yang sesuai dengan passionnya.

Pemerintah yang notabene sebagai pemegang kendali sistem pendidikan harus membuat aturan yang representatif dan dapat mengkover masalah ini. Salah satu solusi yang saya  tawarkan adalah dengan mengoptimalkan peran Badan Konseling di SMA dalam pengenalan universitas dan jurursan. Sebaiknya ada muatan atau sebuah kurikulum di Badan Konseling yang merumuskan seluk beluk berbagai jurusan yang ada. Ada pelajaran khusus yang mengkuliti perihal masalah kuliah dengan sedetail-detailnya. Pendidikan ini diberikan semenjak mereka memasuki kelas sebelas. Hal ini ditujukan agar di kala waktunya datang, siswa tidak terlalu susah dalam menentukan jurusannya. Dan diharapkan kasus salah jurusan pun tidak terjadi.

Badan konseling juga melakukan wawancara dan pendekatan intensif dengan siswa untuk mengarahkan dan membantu siswa tersebut menemukan jurusan yang sesuai dengannya. Pendekatan dengan wali siswa pun perlu dilakukan untuk menunjang keberhasilan siswa dalam menentukan jurusannya kelak.

Berbagai upaya perlu dilakukan untuk mencegah fenomena salah jurusan itu terus terjadi. Setidaknya meminimalisir kasus demikian. Hal ini bertujuan untuk mencetak lulusan yang berkualitas. Lulusan yang berkompeten dan berkarakter unggul menjadi tujuan pendidikan di universitas itu diadakan. Harapannya lulusan yang dicetak dapat membawa Indonesia menjadi lebih baik. Membawa Indonesia menjadi Indoensia yang seseungguhnya.

 

(tulisan pernah dimuat di selasar.com)